QUOTE OF THE DAY

Bermimpilah karena itu yang membuat kita hidup

Rabu, 02 Februari 2011

Suatu Siang di Warteg

Hari ini Selasa 1 Februari 2011.

Gua biasa makan siang di warteg deket kantor. Lokasinya agak ngumpet memang di sebuah gang. Jalan yang sempit diantar perumahan sering dilalui oleh lalulalang sepedea motor penghuni. Hawa panas yang kadang membuat sangat gerah karena beratap seng tidak membuat pelanggannya berkurang. Berbagai menu dijajakan disana. Warteg dengan menu rumahan, ada pula chinese food dengan tukang masak orang klaten yang selalu berkeringat tak tertahan yang bukan tidak mungkin menetes di asakan yang sedang dia buat. tapi gua pikir itu yang bikin nikmat ya.

Tapi yang ingin saya ceritakan sebenernya bukan menu dan kenikmatan makanannya. Siang ini gua justru melihat sebuah kejutan. Setelah saya mengambil nasi dengan lauk pecel, telor asin dan ikan cue, sebagai menu favorit saya yang harganya cuma Rp 12.000,- sudah termasuk teh tawar panas, gua duduk di salah satu pojok favorit saya karena kebetulan sudah lewat jam makan siang sekitar pukul 1, mata gua tertuju pada keasikan 2 orang yang mungkin sekedar berteman atau dua sahabat atau mungkin sekedar 2 orang yang kebetulan sekantor dan mengajak makan siang bersama.

Seorang diantara mereka menggunakan kemeja lengan panjang, cukup rapi dengan rambut cepat, sementara seorang lainnya dengan kemeja lengan pendek celana jeans. Makan apa, salah satu dari mereka menanyakan kepada yang lain. Warteg aja lah! OK jawabnya. Si pria berlengan pendek kemudian sibuk mengambil nasi dan beberapa lauk dan sayur, sementara pria berlengan panjang tadi duduk saja mungkin sedang berpikir mau makan apa ya. Sekembalinya si pria berlengan pendek ini barulah dia bangkit berdiri, mengambil nasi yang cukup banyak, dan saya perhatikan ada banyak lauk yang diambil tapi ternyata.......................... dengan nasi yang begitu banyak dia hanya mengambil kuah dari beberapa lauk yang ada disitu!!! lalu duduk.

Tak lama kemudian dia berdiri kembali, untuk apa? kembali untuk mengambil kuah lagi dan sebutir telur asin. Kejadian mengambil kuah ini berulang sampai tidak ada 1 butir nasi pun yang tertinggal di piringnya.

Saat bayar, saya justru kembali dikejutkan oleh si pembayar yang ternyata pria berlengan panjang.

Masih ada orang seperti dia di Jakarta.

Mungkin sebuah janji sudah diucapkan oleh dia, mungkin sebuah keprihatinan juga, dan mungkin-mungkin yang lain ada dalam benak saya untuk bertanya kenapa harus dia yang bayar.